Kebutuhan masyarakat akan kepemilikan barang
mewah memancing lembaga keuangan mengeluarkan produk pembiayaan. Tak
terkecuali di perbankan syariah. Konsep pembiayaan syariah yang gencar
dipasarkan perbankan syariah dikenal dengan nama murabahah. Seperti apa
konsep murabahah yang sebenarnya dalam Islam dan bagaimana dengan konsep
pembiayaan yang saat ini banyak ditawarkan, tulisan ini akan
menguraikannya
Ibn Manzhur di dalam Lisân
al-’Arab (II/442-443, Dar Shadir) menyatakan:ar-ribhu wa ar-rabhu wa
ar-rabâh artinya pertumbuhan dalam perdagangan;arbahtuhu ‘alâ
sil’atihi artinya aku memberi dia keuntungan; arbahahu bi mutâ’ihi (ia
mendapat keuntungan dengan dagangannya). Aku memberi dia harta
secara murabahah artinya berdasarkan keuntungan di antara keduanya.
Dikatakan: Aku menjual barang itu secara murabahah setiap sepuluh dirham
labanya satu dirham.
Dalam Islam, di antara jenis jual-beli ada bay’ al-musâwamah, yakni
disertai tawar-menawar dan harga tidak dikaitkan dengan harga pokok;
juga adabay’ al-amânah, yakni harga dikaitkan dengan harga pokok dan
harga pokoknya disebutkan. Bay’ al-amânah ada tiga macam: (1) Jika
harganya sama dengan harga pokok, tidak untung dan tidak rugi,
disebut at-tawliyah; (2) Jika disertai kerugian yang disepakati
disebut al-wadhî’ah; (3) Jika disertai dengan keuntungan yang disepakati
disebut al-murâbahah.
Murabahah dalam Islam
Imam asy-Syayrazi di dalam Al-Muhadzdzab (I/288, Dar al-Fikr)
menjelaskan, murabahah adalah (penjual) menjelaskan modal dan kadar
labanya dengan mengatakan, misalnya, “Harganya seratus dan aku menjual
kepada kamu dengan modalnya, dengan laba satu dirham untuk setiap
sepuluh dirham.”
Ibn Qudamah di dalam Asy-Syarh al-Kabîr (IV/102, Dar al-Kitab
al-‘Arabi) menjelaskan murabahah adalah menjual dengan laba yang
disepakati, lalu dikatakan, misalnya, “Modalku di dalamnya seratus. Aku
menjual kepada kamu dengan laba sepuluh.” Ini adalah boleh, tidak ada
perbedaan pendapat tentang keabsahannya.
Dengan demikian menurut para fukaha dulu, murabahah adalah menjual
sesuatu dengan menyebutkan modal atau harga beli awalnya, ditambah
keuntungan yang disepakati.
Murabahah merupakan salah satu model jual-beli. Pelaksanaannya harus
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sehingga menjadi sah dan sempurna.
Rukunnya adalah sebagaimana jual-beli, yaitu adanya: penjual dan
pembeli; barang yang dijual; ijab dan qabul. Adapun terkait
syarat murabah, Dr ‘Ayid Fadhal asy-Sya’rawi di dalam
bukunya Al-Mashârif al-Islâmiyah (hal. 380-382, Dar al-Jami’ah. 2007)
menjelaskan ada syarat umum dan syarat khusus. Syarat
umum murabahah adalah syarat jual-beli itu sendiri: syaratin’iqad,
syarat sah, syarat pelaksanaan (syurûth nafâdz), syarat keharusan
(syurûth luzûm) dan syarat kesempurnaan (syurûth tamâm).
Syarat in’iqad adalah syarat terkait dengan rukun akad, yaitu syarat
ijab dan qabul berupa kesatuan majelis dan kesesuaian dan pertautan ijab
dengan qabul. Syarat al-‘âqid yaitu berakal dan ada dua pihak (penjual
dan pembeli). Syarat barang yang dijual yaitu harta itu ada, bisa
ditentukan nilainya, dimiliki zatnya, bisa diserahkan pada saat akad,
dimiliki oleh penjual pada saat jual beli dan barang itu memiliki nilai.
Syarat sah antara lain: adanya keridhaan kedua pihak, keberadaan barang
yang bisa diserahterimakan, tidak menimpakan dharar kepada penjual,
barang dan harganya diketahui dengan jelas sehingga menghalangi adanya
perselisihan, dan akad itu kosong dari syarat yang fasid. Syurûth
nafâdz antara lain: barang dimiliki oleh penjual dan ada dalam
kekuasaannya serta tidak ada hak orang lain di dalam barang itu. Syurûth
luzûm, jual-beli itu kosong darikhiyar (khiyar ru’yah, khiyar
aib, khiyar syarat dan khiyar ta’yin). Adapunsyurûth tamâm adalah adanya
serah-terima barang (al-qabdhu).
Selain itu murabahah juga harus memenuhi syarat-syarat khususnya, antara lain:
1. Harga awal (modal) harus diketahui. Dalam hal ini penjual wajib menjelaskan kepada pembeli berapa modalnya.
2. Keuntungan harus jelas atau disepakati dengan jelas, sebab laba itu adalah bagian dari harga murabahah.
3. Jual-beli yang pertama harus sah. Fasadnya jual-beli awal tidak
memungkinkan untuk dijadikan dasar jual-beli kedua.
Sebab, murabahahadalah jual-beli dengan harga awal ditambah laba yang
disepakati.
4. Pengetahuan tentang sifat spesifik barang atau sifat yang tidak
disukai. Sebab hal itu akan berpengaruh baik mendorong atau mencegah
terjadinya jual-beli, selain pengetahuan itu akan
menghilangkan gharardan ketidakjelasan tentang barang.
5. Terjaga dari pengkhianatan dan tuduhan. Sebab asas kesepakatan dan
jual-beli itu terfokus pada kejujuran penjual dalam menyebutkan
modalnya. Jika dia berkhianat atau berbohong maka ia mengkhianati amanah
sementara murabahah itu terjadi berdasarkan amanah itu.
6. Harga awal (modal) harus sama jenisnya dengan harga murabahah,
baik rupiah, dolar, emas, perak atau lainnya. Namun, harga tidak boleh
sama jenisnya dengan barang, jika termasuk dari enam jenis komoditas
ribawi (emas, perak, kurma, gandum, jewawut, garam) termasuk uang.
Murabahah yang dijelaskan para fukaha dulu itu hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Penjual telah secara sempurna memiliki barang yang dia jual. Murabahah ini bisa dalam bentuk murabahah kontan maupun murabahah secara kredit atau dengan tempo. Secara syar’i,murabahah memang boleh, namun para fukaha lebih menyukai jual-belimusâwamah.
Murabahah yang dijelaskan para fukaha dulu itu hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Penjual telah secara sempurna memiliki barang yang dia jual. Murabahah ini bisa dalam bentuk murabahah kontan maupun murabahah secara kredit atau dengan tempo. Secara syar’i,murabahah memang boleh, namun para fukaha lebih menyukai jual-belimusâwamah.
Bisnis Pembiayaan (Murabahah) Kontemporer
Murabahah yang saat ini marak terutama dalam bentuk
pembiayaanmurabahah di berbagai bank dan lembaga keuangan sebenarnya
berbeda dari bentuk murabahah yang dibahas para fukaha dulu sebagaimana
dipaparkan di atas. Dalam murabahah kontemporer ini yang terlibat ada
tiga pihak, yaitu: pemilik barang (penjual awal), pembeli akhir
(nasabah) dan pihak yang di tengah (bank) yang menjadi pembeli terhadap
pemilik barang dan penjual terhadap pembeli akhir (nasabah). Tatacara
muamalah ini merupakan tata cara-baru yang digagas oleh Dr. Sami Hamud
dalam desertasi doktoralnya tahun 1976 dengan judul Tathwîr al-A’mâl
al-Mashrifiyah bimâ Yattafiqu ma’a asy-Syarî’ah al-Islâmiyah, yang ia
sebutmurâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’. Dalam praktiknya kemudian hanya
disebut murabahah saja, meski faktanya sebenarnya berbeda
denganmurabahah yang dijelaskan para fukaha. Muamalah ini biasanya
secara ringkas berlangsung dengan tahapan sebagai berikut:
1. Tahap pertama: saling berkomitmen antara nasabah
dengan bank. Nasabah berkomitmen, jika bank mau membeli barang yang dia
inginkan dari penjualnya lalu menjualnya kepada nasabah itu, maka
nasabah berkomitmen untuk membelinya dari bank secara kredit. Jika bank
melihat kelayakan nasabah tersebut, maka bank berkomitmen untuk membeli
barang tersebut lalu menjualnya kepada nasabah tersebut secara kredit.
2. Tahap kedua: bank membeli barang yang diminta itu dari penjualnya.
3. Tahap ketiga: penjualan barang tersebut oleh bank kepada pembeli (nasabah) itu.
Dalam hal ini harus diperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, pembeli tidak boleh diikat dengan apapun sebelum terjadi akad murabahah dan sempurna akadnya. Hakim bin Hizam menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Dalam hal ini harus diperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, pembeli tidak boleh diikat dengan apapun sebelum terjadi akad murabahah dan sempurna akadnya. Hakim bin Hizam menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama belum berpisah (HR
al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, ad-Darimi).
Hadis ini dengan jelas menetapkan adanya hak khiyar (pilihan) bagi penjual dan pembeli sebelum berpisah, yaitu hak untuk membatalkan jual-beli sebelum berlakunya akad sampai majelis akadnya berakhir, yang di antaranya ditandai dengan berpisahnya penjual dan pembeli secara fisik.
Hadis ini dengan jelas menetapkan adanya hak khiyar (pilihan) bagi penjual dan pembeli sebelum berpisah, yaitu hak untuk membatalkan jual-beli sebelum berlakunya akad sampai majelis akadnya berakhir, yang di antaranya ditandai dengan berpisahnya penjual dan pembeli secara fisik.
Sebagai hak yang telah ditetapkan oleh syariah, hak itu tidak boleh
dibatasi atau bahkan dihilangkan oleh apapun dan siapapun selain
syariah, termasuk oleh calon pembeli (nasabah) dan calon penjual (bank)
itu sendiri melalui syarat (kesepakatan saling komitmen) di antara
mereka. Jadi, calon pembeli (nasabah) itu tidak boleh diharuskan membeli
barang itu. Dia boleh saja membelinya dari pihak lain. Sebaliknya,
penjual juga tidak boleh diharuskan menjual barang tersebut. Dia pun
boleh saja menjualnya kepada selain nasabah itu. Karena itu, komitmen
calon pembeli (nasabah) dan calon penjual (bank) tidak boleh bersifat
mengikat, dalam arti nasabah harus membeli barang itu setelah bank
membelinya dari penjual; dan bank harus menjual barang itu kepada
nasabah tersebut setelah bank membelinya. Sebab itu artinya baik nasabah
atau bank tidak lagi memiliki khiyar yang telah ditetapkan syariah itu.
Ini tidak boleh karena kaidah syariah menyebutkan: setiap syarat yang
bertentangan dengan syariah maka syarat tersebut batil (batal), dan
tentu saja tidak mengikat.
Nasabah juga tidak boleh diikat dengan pembayaran uang muka
(al-‘urbûn) dan jika nasabah tidak jadi membeli maka uang mukanya
menjadi hak bank. Sebab jika demikian maka itu adalah jual-beli dalam
bentuk bay’ al-‘urbûn. Artinya, akad uang muka itu merupakan akad
jual-beli, sebab uang muka itu merupakan bagian dari harga yang dibayar
di muka.
Jika komitmen nasabah dan bank bersifat mengikat bagi keduanya
dan/atau nasabah membayar uang muka (DP) dan jika dia batal membeli, DP
itu menjadi hak bank, maka hal itu merupakan jual-beli itu sendiri.
Semua unsur jual-beli ada di dalamnya. Padahal jelas barang tersebut
belum menjadi milik penjual. Hal demikian jelas dilarang. Rasul saw.
bersabda:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Jangan engkau jual sesuatu yang bukan milikmu (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Kedua, sebelum dilangsungkan akad murabahah, barang itu harus sudah sempurna dimiliki penjual (bank), yakni sudah diserahterimakan secara sempurna kepada penjual (bank) itu. Hakim bin Hizam pernah bertanya kepada Rasul saw., “Ya Rasulullah, aku seorang pedagang, lalu apa yang halal dan apa yang haram bagi diriku?” Rasul saw. menjawab:
إِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعاً فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ
Jika engkau membeli sesuatu maka jangan engkau jual hingga engkau menerimanya (HR Ahmad, an-Nasai dan Ibn Hibban).
Barang itu juga harus berada dalam kekuasaan dan tanggungan penjual (bank) di tempat dimana penjual itu memiliki fisik dan manfaat barang itu. Sebab, Rasul saw. bersabda:
Barang itu juga harus berada dalam kekuasaan dan tanggungan penjual (bank) di tempat dimana penjual itu memiliki fisik dan manfaat barang itu. Sebab, Rasul saw. bersabda:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal utang dan jual-beli; tidak (halal) dua syarat dalam
jual-beli; tidak (halal) keuntungan sesuatu yang belum dijamin; tidak
(halal) pula menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Ahmad, Abu Dawud,
at-Tirmidzi, an-Nasai, al-Hakim).
Kepemilikan, kekuasaan dan tanggungan penjual (bank) atas barang itu harus benar-benar riil, bukan hanya formalitas di atas kertas. Jika hanya formalitas di atas kertas, maka itu hanya akal-akalan saja.
Kepemilikan, kekuasaan dan tanggungan penjual (bank) atas barang itu harus benar-benar riil, bukan hanya formalitas di atas kertas. Jika hanya formalitas di atas kertas, maka itu hanya akal-akalan saja.
Ketiga, harus disebutkan berapa modal dan keuntungan
yang disepakati. Modal yang dijadikan dasar murabahah adalah harga
pembelian barang oleh bank kepada pemiliknya, bukan harga beli dikurangi
harga yang dibayar nasabah (pembeli) di muka (uang muka). Dengan kata
lain, bukan yang dikatakan sebagai jumlah pembiayaan.
Sebab murabahah itu merupakan jual-beli dengan modal ditambah keuntungan
yang disepakati, bukan merupakan pembiayaan. Jika didasarkan jumlah
pembiayaan maka itu lebih dekat sebagai meminjamkan uang agar
dikembalikan lebih banyak, dan itu jelas merupakan riba, sementara
jual-beli itu hanya menjadi triknya saja.
Keempat, barang harus diserahterimakan kepada
pembeli (nasabah) secara sempurna. Kepemilikan atas barang itu harus
sempurna berpindah ke pembeli. Sebab itu merupakan konsekuensi akad
jual-beli. Karena itu, tidak boleh ada syarat apapun yang membatasi
kepemilikan pembeli atas barang tersebut. Dia berhak sepenuhnya
mengelola barang itu baik menjual, menyewakan, mengkonsumsi, memindahkan
kepemilikannya kepada orang lain, dsb. Jika ada syarat yang membatasi
hak pengelolaan pembeli atas barang itu, maka syarat tersebut batil dan
harus diabaikan, meski akadmurabahah-nya tetap sah.
Kelima, tidak boleh ada denda karena keterlambatan membayar. Sebab itu adalah riba.
Selain kelima hal ini masih ada hal-hal lain yang harus diperhatikan
agarmurabahah kontemporer saat ini sah dan sempurna menurut syariah.
Demikian penjelasan konsep bisnis pembiayaan murabahah dalam Islam.
Semoga bisa semakin mencerahkan terkait banyaknya transaksi pembiayaan
murabahah yang dikeluarkan oleh perbankan syariah agar transaksi yang
kita jalani jauh dari riba dan transaksi bathil.
Post a Comment