Kian hari, kesadaran masyarakat tentang gaya hidup sehat semakin
meningkat. Hal ini merombak pola hidup seseorang, terutama dari segi
makanan. Selain dari proses pengolahan makanan, yang jadi perhatian
khusus ialah bahan baku yang digunakan. Beberapa tahun belakangan,
makanan olahan dari bahan baku organik tengah jadi tren.
Sebenarnya sudah banyak pengusaha yang menggeluti bisnis penjualan
bahan organik, mulai sayuran, buah, hingga daging ayam. Di swalayan kita
bisa menemukan banyak merek produk yang berlabel organik. Akan tetapi,
di samping berjualan produk, ternyata ada peluang usaha lain yang juga
menjanjikan, yakni mengelola restoran atau kafe organik.
Menu yang ditawarkan restoran ini merupakan menu sehat. Artinya,
makanan yang disajikan diolah menggunakan bahan baku organik. Jadi,
dalam proses penanaman, tumbuhan tidak terkena bahan kimia baik dari
pupuk atau obat-obatan. Bahan baku organik dipercaya memiliki kandungan
nutrisi dan kadar mineral yang lebih tinggi dari bahan makanan
non-organik.
Selain dari proses penanaman, karakter organik dari suatu makanan
bisa dilihat dari tempat penanaman. Helga Angelina dan Max Madias,
founder dan owner Burgreens, menuturkan bahwa bahan organik yang diolah
harus berasal dari kebun yang ada di sekitar lokasi pengolahan. “Jadi,
bahan baku yang diimpor sebenarnya tak bisa dikatakan organik lagi,
walau dari metode pertaniannya tidak dengan bahan kimia,” jelas Max.
Pasalnya, menurut mereka, pengertian organik secara sederhana ialah
produk lokal. Jarak antara kebun dengan meja makan diusahakan sedekat
mungkin. Logikanya, jika bahan harus diimpor, bahan bakar yang digunakan
pun banyak. Ini tak lagi mendukung konsep organik yang ramah
lingkungan.
Pengalaman pribadi
Kebanyakan orang yang terjun di usaha restoran organik berangkat dari
pengalaman pribadi. Helga dan Max misalnya. Helga mengaku sering
mengonsumsi obat-obatan kimia semenjak kecil. Namun pada usia 14 tahun,
ia memutuskan jadi vegetarian dan menjalani gaya hidup sehat. Demikian
pula Max yang sejak 2012 riset tentang vegetarian dan tertarik beralih
seperti Helga. Saat itu keduanya masih tinggal di Belanda.
Lantas, Helga dan Max pun kembali ke Indonesia untuk membuka restoran
yang sesuai dengan gaya hidup mereka. “Tadinya kami mau buka usaha
online, tapi ternyata ada rekan kami, Banyu Bening, yang punya tempat,
jadi kami buka kafe yang menyajikan makanan dari bahan organik di
Rempoa, Jakarta Selatan,” kata Helga.
Burgreens pun dibuka pada November 2013. Helga mengatakan, awalnya
kebanyakan pengunjung kafe mereka merupakan warga asing alias bule yang
memang sudah lebih paham mengenai gaya hidup sehat. Lalu, kafe mereka
juga sering dikunjungi beberapa selebritas seperti Sharena Gunawan, Titi
Dj, serta Dewi Lestari bersama suaminya Reza Gunawan. Pemasaran dari
mulut ke mulut pun terjadi sehingga kafe mereka ramai pengunjung.
Bahkan, enam bulan belakangan, mereka melihat, antusiasme warga lokal
untuk menikmati sajian organik Burgreens pun semakin besar.
Max menuturkan, peluang untuk membuka usaha restoran organik cukup
besar. Apalagi mereka mengusung konsep restoran untuk pelaku vegan dan
vegetarian. Saat ini, pilihan restoran bagi penganut makanan tanpa
sumber hewani tergolong minim.
Namun yang penting, pemain usaha ini merupakan orang yang juga punya
gaya hidup sehat. “Pemilik restoran harus living the brand. Kalau sang
owner saja masih makan makanan tak sehat, bagaimana pengunjung percaya
bahwa makanan yang disajikan memang sehat dan dari bahan-bahan organik,”
tandas Helga.
Kisah serupa dialami oleh pasangan suami istri, Hendra Alamin dan
Yosefina Skolastika yang membuka rumah makan Sedap Alami di kawasan
Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, dan Puri Kembangan, Jakarta Barat.
Seusai sang istri, Yosefina, menjalani operasi tumor, gaya hidup mereka
berubah total. Keluarga mereka hanya mengonsumsi makanan sehat, terutama
bahan organik.
Hingga pada 2005, mereka membeli sebidang lahan di Ci-sarua, Bogor,
untuk ditanami sayuran organik. “Awalnya untuk dikonsumsi sendiri, tapi
karena semakin banyak hasil panennya, kami pun membuka rumah makan
dengan menu utama makanan dari sayuran organik,” ujar Hendra.
Hendra mengaku pada saat itu, Sedap Alami merupakan satu-satunya
restoran yang mengolah makanan dari kebun sendiri. Sekarang, konsep itu
sudah diadaptasi oleh banyak restoran yang juga menyajikan makanan
organik.
Pasangan ini mengawali usahanya di Bendungan Hilir untuk menyasar
para karyawan di kawasan tersebut. Mereka membeli ruko yang dijadikan
restoran berkapasitas 20 orang. Lantas, melihat pertumbuhan penjualan
yang bagus, mereka menambah gerai di Jakarta Barat yang menargetkan
keluarga di sekitar komplek restoran. Hendra bilang, ketika merintis
usaha ini, mereka merogoh kocek lebih dari Rp 100 juta sebagai modal.
Selain untuk tempat, modal itu juga digunakan untuk membeli peralatan
masak yang berkualitas. “Kami menggunakan produk dari Amerika, yaitu
Saladmaster, yang terbuat dari titanium,” kata dia.
Menurut Hendra, peralatan masak juga mempengaruhi kualitas makanan
yang disajikan. Kebanyakan restoran masih memasak dengan peralatan dari
alumunium. Padahal, kata dia, bahan alumunium menimbulkan reaksi kimia
yang bisa menempel pada masakan.
Berbeda lagi dengan Max dan Helga yang mengeluarkan modal sebesar Rp
220 juta. Modal itu digunakan untuk menyuplai bahan baku organik dari
berbagai pemasok, seperti Yayasan Usaha Mulia dan Organic Club. “Modal
terbesar dikeluarkan untuk mengubah tempat usaha yang tadinya kos-kosan
jadi kafe,” kata Helga.
Selama sebulan, mereka merombak tempat tersebut sehingga jadi kafe
dengan kapasitas 30 orang. Dekorasinya pun dibuat senatural mungkin
tanpa pendingin ruangan. Kebanyakan meja makan diletakkan di luar
ruangan dengan meja dan kursi dari perpaduan bahan kayu dan besi. Kafe
ini juga dikelilingi oleh pepohonan yang membuat pengunjung merasakan
atmosfir yang tenang.
Baik Burgreens maupun Sedap Alami memiliki dapur produksi tersendiri
yang terpisah dari restoran. Di dapur ini, kebanyakan pembuatan makanan
dilakukan. “Selain untuk restoran, tempat untuk dapur juga harus
diperhatikan agar selalu bersih dan ramah lingkungan,” kata Hendra.
Tonjolkan menu
Layaknya restoran biasa, pengusaha restoran organik pun fokus pada
menu yang mereka tawarkan pada konsumen. Max dan Helga mengangkat burger
sebagai menu utama di kafe mereka. Alasannya, burger merupakan kuliner
yang sangat populer.
Namun selama ini, burger dianggap makanan tidak sehat karena proses
pembuatan dan bahan baku yang digunakan untuk kuliner ini. “Kami mau
mengubah persepsi itu,” tutur Max yang memegang peranan untuk inovasi
menu.
Dia menggunakan gandum untuk bahan pembuatan roti burger. Sementara
itu, untuk patty yang biasanya dari daging, Max ubah menjadi sayuran
organik, seperti bayam, jamur, dan kacang-kacangan.
Max menegaskan, Burgreens memang punya tujuan untuk membuat makanan
sehat yang enak. Jadi, konsumen yang menikmati sajian Burgreens tak
perlu merasa resah dengan kandungan dari makanan yang disantapnya.
Selain burger, Burgreens juga menyajikan menu lain, seperti aglio
olio, nugget dari jamur dan kacang-kacangan, keripik kentang manis, dan
beragam salad. Sekitar 80% menu ini bisa dinikmati oleh vegan dan
vegetarian. Untuk menikmati menu ini, konsumen membayar harga di
kisaran Rp 22.000 hingga Rp 80.000 per porsi.
Di samping itu, Burgreens juga menawarkan minuman sehat, seperti jus
dan smoothies dari sayur dan buah, serta pencuci mulut es krim dari buah
dan kacang-kacangan. Untuk minuman, Max dan Helga membanderolnya
seharga Rp 10.000–Rp 45.000 per gelas. Sejak empat bulan terakhir,
Burgreens juga memperkenalkan raw food alias makanan yang tidak melalui
proses masak. Menurut mereka, belum banyak restoran yang menyajikan raw
food untuk konsumen.
Pada hari-hari biasa, pengunjung Burgreens sekitar 20 orang–40 orang.
Namun, pada akhir pekan jumlah ini meningkat jadi 50 orang hingga 100
orang per hari. Adapun karyawan di kafe ini sekarang mencapai 25 orang.
Selain menyajikan makanan di kafe, Burgreens juga melayani pemesanan
untuk dikirim maupun untuk latering. “Biasanya kami melayani katering
untuk event di sekolah atau untuk perusahaan,” jelas Max.
Berbeda dengan Burgreens, Sedap Alami lebih memilih makanan
tradisional sebagai menu di rumah makannya. Misalnya saja mi dari
sayur-sayuran, seperti wortel dan sawi, nasi goreng vegan, tahu kok.
“Semua kami bikin sendiri, contohnya tahu, kami buat dari kacang kedelai
dari kebun sendiri,” cetus Hendra.
Selain menu utama, Sedap Alami juga menyajikan panganan tradisional
seperti kue apem dari ubi jalar, bagelen, dadar gulung hijau suji,
bakpau labu, timus singkong, dan kembang tahu. Berbagai menu ini
ditawarkan dengan kisaran harga Rp 3.000–Rp 25.000 per porsi.
Pengunjung rumah makan Sedap Alami berkisar 50 orang–100 orang per
hari. Hendra mengaku bisa meraup omzet Rp 170 juta per bulan dari usaha
ini. Adapun laba bersih untuk makanan organik, kata Hendra, lebih kecil
dibandingkan makanan non-organik. “Laba bersih tidak besar, masih di
bawah 50 persen,” ucap dia.
Tak bisa 100% organik
Mengonsumsi makanan organik memang dipercaya lebih aman bagi tubuh
karena makanan ini tidak terpapar pestisida dan pupuk buatan. Namun,
para pemilik restoran makanan organik mengaku tak bisa menyajikan menu
yang sepenuhnya berasal dari bahan organik.
Helga Angelina, founder dan owner Burgreens, mengatakan bisa
dikatakan hampir tidak ada restoran yang 100% menyajikan makanan
organik. Sebanyak 85% kuliner di Burgreens menggunakan bahan organik.
Sisanya, walaupun tidak organik, tentunya harus sesuai dengan misi
makanan sehat yang diusung restoran. “Sebisa mungkin makanan tidak
mengandung bahan kimia yang berbahaya untuk tubuh, misalnya tidak
menggunakan penyedap buatan,” ucap perempuan berusia 24 tahun ini.
Demikian juga dikatakan oleh Hendra Alamin, owner Sedap Alami. Ada
bahan baku yang tidak organik di rumah makannya, seperti ikan. “Namun
saya bisa pastikan ikan yang saya gunakan tidak mengandung formalin
karena saya tidak beli di pasar atau supermarket tapi melalui eksportir.
Ikan itu sudah diuji di laboratorium dan negatif formalin,” ungkap
Hendra.
Post a Comment