Bila kita menilik perkembangan periklanan modern yang muncul sekitar
tahun 1945-an sampai sekarang, maka desain iklan yang tampil di berbagai
media hampir tidak mengalami perubahan yang signifikan. Produk-produk
kecantikan seperti alat kosmetika, sabun, shampoo, dan lain-lain masih
menggunakan gambar sosok wanita cantik yang membuka aurat. Hal ini
merupakan suatu kesengajaan karena aurat yang dipertontonkan dalam
iklan-iklan tersebut memang ditujukan untuk memperlaris dan mempermudah
produsen dan pengiklan dalam memasarkan produknya.
Tidak berhenti sampai di situ, menjajakan produk dengan mengumbar
aurat, bahkan kalau perlu melakukan pose telanjang menjadi perkara yang
seringkali dilakukan pengiklan kelas dunia. Giorgio Armani misalnya,
ketika memasarkan produk underwear for men menggunakan endorser David Beckham, satu dari pemain sepakbola termahal di dunia. Tanpa malu, giant banner-nya dengan mudah ditonton ribuan wanita pada saatlaunching.
Targetnya, para wanita itu akan membujuk suami ataupun pacarnya untuk
membeli dan mengenakannya seperti Beckham. Selain aurat, kisah cinta dua
orang lawan jenis yang tidak terikat tali pernikahan juga menjadi bumbu
iklan sepanjang masa tidak terkecuali pada produk untuk konsumen
anak-anak… Sungguh sangat menyedihkan.
Namun jangan salah, iklan yang merepresentasikan pemikiran-pemikiran
hedonis, sekuleris tersebut tidak kalah berbahayanya untuk umat. Inilah
kreativitas bebas nilai ala Kapitalisme yang telah sukses memasukkan
ide-ide yang bertentangan dengan syariah. Iklan dijadikan sebagai alat
ampuh untuk membius umat dengan mengumbar janji, membujuk umat
mengonsumsi hal yang tidak perlu menjadi seolah perlu, membujuk untuk
memuaskan nafsu “keinginan” yang tidak berdasar “kebutuhan”…semua
dikemas dalam balutan gengsi ataupun alasan gaya hidup.
Lalu bila sedemikian rusaknya periklanan ala Kapitalis, bagaimana
seharusnya periklanan yang syariah itu? Apa beda periklanan yang syariah
dengan yang konvensional? Bagaimana caranya agar iklan kita sesuai
dengan syariah?
Beberapa pertanyaan tersebut otomatis akan terjawab apabila kita
memahami gambaran umum bagaimana seharusnya seorang muslim beriklan
ketika menawarkan produknya.
- Dalam membuat iklan harus didasari atas akidah dan syariat Islam. Kreativitas ternyata tidak bebas nilai, sama dengan status perbuatan dalam aktivitas lainnya. Termasuk produk yang diiklankan, harus merupakan produk-produk halal, bukan yang diharamkan.Pandangan ini biasanya akan berbenturan dengan pendapat sebagian besar masyarakat yang menyatakan bahwa kreativitas yang dibatasi oleh agama akan menjadi kreativitas yang terpasung. Padahal justru sebaliknya, banyak contoh menunjukkan bahwa semakin banyak batasan-batasan dalam periklanan, justru akan mendorong orang-orang kreatif untuk menggali lebih dalam lagi dan akan menghasilkan karya yang luar biasa di luar dugaan kita.
- Iklan harus jujur menyampaikan hal apa adanya, tidak membohongi konsumen. Berbicara jujur mengenai produk yang ditawarkan adalah hal yang mutlak. Membohongi konsumen akan berdampak buruk bagi brand tersebut. Kalau tidak dirasakan sekarang, bisa jadi jangka panjang.
- Tidak boleh berkesan produknya yang paling baik dibandingkan produk lainnya. Dengan menuliskan awalan ‘ter’… misalnya : terbaik, terharum, menuliskan bahwa produknya adalah nomer satu, paling baik, paling hebat/terhebat. Hal ini tidak boleh dilakukan karena tidak sesuai dengan akhlak Islam. Khusus poin ini, juga telah tercantum dalam Buku Etika Pariwara Indonesia terbitan P3i (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia).
- Menciptakan iklan yang bernuansa edukasi. Apabila memang ingin memberikan informasi dalam iklan dengan informasi yang selengkap-lengkapnya, tidak perlu menyampaikannya secara berlebihan. Cukup dengan informasi yang cukup. Dikemas secara kreatif, tidak menggurui tetapi target memahami pesan yang disampaikan.
- Terakhir, periklanan syariah sebagai salah satu cara untuk berdakwah sekaligus mempromosikan produk. Tunjukkan bahwa baik barang maupun jasa bisa juga menjadi cara/uslub untuk menunjukkan kreatifitas dan indahnya Islam. Keindahan Islam tidak harus diidentikkan dengan ikon masjid, sajadah, tasbih, peci, baju koko, kubah, jubah, kalau memang produk yang dijual tidak ada hubungannya dengan itu. Keindahan Islam dapat muncul ketika pengiklan secara cermat mempelajari insight produknya, atau menemukan brand essence-nya, mengenali target audience-nya, memahami consumer journey-nya, melakukan analisis sederhana sehingga menghasilkan “what to say” dan “how to say” yang kreatif.
Allah memberi kita segenap kemampuan untuk berkreasi, dan kekuatan
ketaatan sekaligus. Tergantung eksplorasi dan pembelajaran kita. Akan
mampu menjual dengan kreatif atau biasa-biasa saja, semua ada di tangan
kita! Semoga Sukses![]
Penulis:
Andika Dwijatmiko
Praktisi Advertising Syariah
Praktisi Advertising Syariah
Post a Comment