Seorang wanita dikatakan wajib untuk terjun ke dalam bidang profesi
jika ia berada dalam dua kondisi. Kondisi pertama adalah bila ia harus
menanggung biaya hidup bagi dirinya sendiri dan anak-anaknya.
Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, “Bibiku dicerai. Pada suatu
hari, dia ingin memetik buah kurmanya, lalu seorang laki-laki
menghardiknya agar jangan keluar rumah. Lantas bibiku menemui Rasulullah
untuk menanyakan masalah ini. Rasulullah berkata, ‘Tentu, petiklah buah
kurmamu. Barangkali, dengan itu kamu akan bisa bersedekah atau akan
melakukan sesuatu yang baik.’” (HR Muslim)
Dari Aisyah, dia berkata, “Seorang wanita mengemis kepadaku sambil
membawa dua orang putrinya, dan aku tidak punya sesuatu untuk diberi
kepadanya kecuali sebiji kurma. Kurma itu aku berikan kepadanya dan aku
bagi-bagikan kepada kedua putrinya…” (HR Bukhari)
Seandainya perempuan yang disebutkan Aisyah dalam hadits tersebut
mampu bekerja untuk menghidupi diri dan dua putrinya dari hasil usaha
yang baik dan bukan dengan mengemis, mengharap belas kasihan orang lain,
atau makan dari sedekah, betapa akan mulia dan terhormatnya ia. Harta
sedekah itu, menurut Nabi, adalah ampas atau kotoran harta.
Kondisi kedua adalah kebutuhan masyarakat pada beberapa pekerjaan tertentu yang dianggap fardhu kifayah.
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, dalam Ilmu Ushul Fiqih, mengatakan,
“Wajib atau fardhu dari segi tuntutan untuk melaksanakannya terbagi
menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ain adalah fardhu yang
dituntut melakukannya oleh syariat dari setiap individu yang sudah
mukallaf, dan tidak sah jika digantikan oleh orang lain, seperti shalat,
zakat, haji, menunaikan janji, serta menjauhi minuman keras dan judi.
Fardhu kifayah adalah suatu kewajiban yang dituntut oleh syari’at
melaksanakannya atas sejumlah orang yang sudah mukallaf. Jika sudah
dilaksanakan, kewajiban tersebut berarti sudah ditunaikan dan yang
lainnya sudah terbebas dari dosa dan beban. Akan tetapi, seandainya
belum ada individu mukallaf yang melaksanakannya, semua menanggung dosa
karena mengabaikan kebaikan tersebut. Contohnya adalah amar ma’ruf nahi
munkar, shalat jenazah, membangun rumah sakit, menyelamatkan orang
tenggelam, memadamkan kebakaran, memberikan pelayanan kesehatan,
mendirikan proyek industri yang yang dibutuhkan oleh banyak orang,
peradilan, fatwa, menjawab salam, memberikan kesaksian, dan lain-lain.
Kewajiban-kewajiban tersebut dituntut syari’at agar ada di dalam
masyarakat, orang yang melaksanakannya, tapi bukan dari setiap individu
dari individu-individu masyarakat. Sebab kebutuhan kebutuhan yang
diperlukan sudah akan dapat terwujud dengan adanya beberapa orang yang
sudah mukallaf melaksanakannya, dan tidak tergantung pada setiap
individu yang sudah mukallaf.
Jadi, pada fardhu kifayah, yang dituntut dari melaksanakannya adalah
sekelompok anggota masyarakat. Kelompok yang berkewajiban melaksanakan
fardhu kifayah tersebut haruslah melaksanakannya. Sementara bagi orang
yang tidak mampu dari segi keterampilan, maka cukup dengan memberikan
dorongan moral agar orang yang mampu mau melakukan dan memikul tanggung
jawab tersebut. Apabila kewajiban tersebut sudah dilaksanakan, semuanya
terbebas dari dosa. Dosa bagi yang mampu adalah karena dia mengabaikan
suatu kewajiban yang sebenarnya mampu ia laksanakan. Sementara dosa bagi
orang yang tidak mampu adalah karena dia tidak memberikan doorngan
kepada orang yang mampu untuk supaya dia memikul dan melaksanakan
kewajiban yang sudah menjadi bagiannya. Ini adalah konsekuensi
kebersamaan dalam menunaikan suatu kewajiban.
Kalau ada suatu kelompok yang melihat seseorang tenggelam, sementara
di antara mereka itu ada orang yang bisa berenang dan bisa menolong
orang yang tenggelam tersebut, dan ada pula di antara mereka yang tidak
bisa berenang dan tidak mungkin memberikan pertolongan, maka yang wajib
melaksanakan tugas ini adalah orang yang bisa berenang. Dia harus
berusaha sebisa mungkin menyelamatkan orang yang tenggelam tersebut.
Jika dia tidak mengambil inisiatif untuk melaksanakan kewajiban
tersebut, teman-teman yang lain harus mendorongnya supaya segera
melaksanakan kewajiban ini. Jika dia telah melaksanakan tugasnya, maka
tidak akan seorang pun yang berdosa. Akan tetapi, jika dia tidak
melaksanakan kewajiban ini, maka semuanya menanggung dosa.
Bila tidak ada pilihan dan hanya satu orang saja yang bisa
melaksanakan suatu fardhu kifayah, maka hukumnya menjadi fardhu ain bagi
yang bersangkutan. Sebagai contoh, apabila orang yang tenggelam dan
butuh pertolongan itu hanya disaksikan oleh seorang saja yang bisa
berenang – apabila kejadian itu hanya dilihat seorang – lalu diminta
kesaksiannya; serta apabila di suatu daerah itu hanya ada seorang
dokter, lalu dibutuhkan perawatan darinya, maka tugas fardhu kifayah
yang harus mereka laksanakan itu berubah hukumnya menjadi fardhu ain
bagi mereka.”
Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah berkata, “Sementara itu, fardhu
kifayah untuk kaum wanita – dalam bidang profesi – meliputi tugas-tugas
yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim dari sejumlah wanita.
Tugas-tugas tersebut merupakan tuntutan dan kebutuhan sosial. Tidak
menjadi masalah apakah tugas tersebut pada dasarnya merupakan
spesialisasi kaum wanita saja, atau tugas yang memerlukan keterlibatan
kaum wanita di dalamnya. Begitu juga tugas-tugas yang pada dasarnya
merupakan bidang khusus kaum laki-laki, tetapi mengingat keterbatasan
tenaga tenaga kaum laki-laki, maka diperlukan bantuan tenaga wanita guna
mewujudkan kebutuhan masyarakat. Contoh jenis pertama adalah seperti
mengajar, mengobati dan merawat kaum wanita, menjaga dan mengajar
anak-anak, memelihara anak-anak yatim dan anak-anak terlantar, serta
berbagai macam pelayanan sosial lainnya.”
Al Juwaini, dalam Al Ghiyatsi mengatakan, “Melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang hukumnya fardhu kifayah paling tepat untuk
meningkatkan derajat dan lebih bagus daripada fardhu ain dalam segi seni
mendekatkan diri kepada Allah. Seorang hamba yang sudah mukallaf, bila
diberi tugas untuk melaksanakan suatu kewajiban, ternyata dia
meninggalkan dan tidak mengindahkan perintah agama dengan perbuatan,
maka dia mendapatkan dosa. Tetapi kalau dia melaksanakan, maka dia
mendapatkan pahala. Jika suatu kewajiban yang hukumnya fardhu kifayah
diterlantarkan, dosanya menimpa semua, tanpa membedakan pangkat dan
derajat. Akan tetapi, jika ada orang yang melaksanakannya, berarti dia
telah membebaskan dirinya dan teman-temannya dari dosa dan siksa,
disamping mengharap pahala yang lebih sempurna. Orang yang mewakili
semua kaum muslimin dalam melakukan suatu kewajiban dari berbagai
kewajiban agama, martabatnya tidak akan pernah dilecehkan. Kemudian ada
beberapa kewajiban yang dianggap fardhu kifayah melaksanakannya, tetapi
pada kondisi-kondisi tertentu menjadi fardhu ain bagi sebagian orang.”
Post a Comment