Itulah yang sering kita lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang
gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya),
namun semata-mata hanya untuk menyehatkan badan sebagaimana saran dari
beberapa kalangan. Ada juga yang gemar sekali bersedekah, namun dengan
tujuan untuk memperlancar rizki dan karir. Begitu pula ada yang rajin
bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun tujuannya hanyalah ingin
menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang baik.
Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun
hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang
demikian, mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana
disebutkan dalam ayat berikut.
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ
كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ
الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا
صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.
Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.
Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”. Maksudnya
adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua
diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik, namun semata-mata akan
membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya amalan
mereka. Dan juga mereka tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu
dunia yang diberikan kepada mereka tidak akan dikurangi. Ini berarti
mereka akan diberikan dunia yang mereka cari seutuhnya (sempurna).
Dunia,
mungkin saja mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan sholeh,
boleh jadi seseorang akan bertambah sehat, rizki semakin lancar dan
karir terus meningkat. Dan itu senyatanya yang mereka peroleh dan Allah
pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia tetapkan. Namun
apa yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah firman Allah selanjutnya (yang artinya), “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka”.
Inilah akibat orang yang hanya beribadah untuk mendapat tujuan dunia
saja. Mereka memang di dunia akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Adapun di akhirat, mereka tidak akan memperoleh pahala karena mereka
dalam beramal tidak menginginkan akhirat. Ingatlah, balasan akhirat
hanya akan diperoleh oleh orang yang mengharapkannya. Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Dan
barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)
Orang-orang seperti ini juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”.
Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak ikhlas untuk
mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat, sia-sialah amalan
mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di I’aanatul Mustafid, 2/92-93)
Sungguh
betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan
banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk
menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan lain
sebagainya.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud
ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya orang
yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah
mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu
‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat
atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan
dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari.
Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka
hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk
orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini
juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah
mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu
dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan
kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan
memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang
mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah
Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan
balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat
Kenapa
seseorang beribadah dan beramal hanya ingin menggapai dunia? Jika
seseorang beramal untuk mencari dunia, maka dia memang akan diberi. Jika
shalat tahajud, puasa senin-kamis yang dia lakukan hanya ingin meraih
dunia, maka dunia memang akan dia peroleh dan tidak akan dikurangi.
Namun apa akibatnya di akhirat? Sungguh di akhirat dia akan sangat
merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di akhirat disebabkan
amalannya yang hanya ingin mencari-cari dunia.
Namun bagaimana
dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah
Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ
كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ
يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ
نَصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang
siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun
di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu Katsir –rahimahullah-
menafsirkan ayat di atas, “Barangsiapa yang mencari keuntungan di
akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami
akan kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia
harapkan. Kami pun akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas
setiap kebaikan dengan sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga
kelipatan yang begitu banyak sesuai dengan kehendak Allah. ... Namun
jika yang ingin dicapai adalah dunia dan dia tidak punya keinginan
menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat tidak akan Allah
beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dan
jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia
peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja,
namun barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari
dirinya.”
Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,
بشر هذه الأمة بالسناء والرفعة والدين والتمكين في الأرض فمن عمل منهم عمل الآخرة للدنيا لم يكن له في الآخرة من نصيب
“Umat
ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan
kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan
akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu
bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)
Terdapat pula riwayat dalam Al Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بشر
هذه الأمة بالتيسير والسناء والرفعة بالدين والتمكين في البلاد والنصر فمن
عمل منهم بعمل الآخرة للدنيا فليس له في الآخرة من نصيب
“Umat
ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian
dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan.
Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia
tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat. ”
Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعِسَ
عَبْدُ الدِّينَارِ ، وَالدِّرْهَمِ ، وَالْقَطِيفَةِ ، وَالْخَمِيصَةِ ،
إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan
khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia
tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
Kenapa
dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka
yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai
harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah
sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang
yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah
yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka
beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia
disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah,
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)
Itulah
tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika
dia diberi kenikmatan dunia, dia ridho. Namun, jika kenikmatan dunia
tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan marah. Dalam hatinya
seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga lancar.” Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan sholehnya.
Adapun
seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya,
jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia
akan beramal bukan
untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan
mendapatkan dunia sama sekali. Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak
ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari
dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua
ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar
selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali
tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap kebaikan yang mereka
lakukan di dunia.
Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada
rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka
dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari
‘Umar bin Khottob,
قَدْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُعْطِينِى الْعَطَاءَ
فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى. حَتَّى أَعْطَانِى مَرَّةً
مَالاً فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُ وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ
وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ فَلاَ
تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan
saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin)
dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut
padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah
harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak
merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya.
Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau
punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah
hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sekali
lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak,
amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat
mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia
dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi
nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan
marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia
murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal
dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang
seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba
pakaian.
Beragamnya Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia
Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:
[Pertama]
Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal
dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan
kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan
mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan
semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun
lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri
akhirat.
[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk
mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah
niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan
mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki
kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
[Ketiga] Adapun
jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap
wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau
hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid
yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan
pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap
bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga
tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak
beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk
beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan
adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal
dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)
Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama] Amalan
yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang
melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam
ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya:
Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa
pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti
adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun
yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan
anak laki-laki.
[Kedua] Amalan yang disebutkan di
dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti
kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika
seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan
balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang
yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia
melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus,
juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan
dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah
menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.
Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh Muhammad At Tamimi –rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya’. Kenapa demikian?
Riya’
dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan
hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang
banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Ta’ala. Ini
berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang
samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal agar dilihat
oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal
untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa,
sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan
balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.
Tetapi
perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk
mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’. Alasannya, kalau
seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak
mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh
kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan
yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya
sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan
ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi
yang lain.
Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal?
Sebenarnya
jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah
dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti
dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang
selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan
mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini
... !!
Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
مَنْ
كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ
لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ
الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ
عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ
لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai
akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan
menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh
dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai
dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan
mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang
telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
Marilah
–saudaraku-, kita ikhlashkan selalu niat kita ketika kita beramal.
Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah. Janganlah
niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia semata.
Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan engkau
raih. Yakinlah hal ini ...!!
Semoga Allah selalu memperbaiki
aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik dan
hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
- Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As Su’udiyah.
- I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
- At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Artikel http://rumaysho.com
Post a Comment