Riba sudah
jelas haramnya. Namun saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian
orang. Walaupun digunakan nama bunga sekalipun, riba tetaplah riba. Lalu
bagaimana jika kita memiliki harta riba tersebut? Yang jelas, harta
tersebut adalah harta haram yang tidak boleh kita manfaatkan. Lalu di manakah disalurkan?
Bunga Bank itu Riba
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord.
Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat
baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan
uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri
adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang
namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu
adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka
keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.”
(Lihat “Taysir Al Fiqh”, Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan hal. 398,
terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H).
Pemanfaatan Dana Riba
Sependek pengatahuan kami, para ulama sepakat bahwa harta riba tidak
halal bagi seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri. Ia
harus mengambilkan pada sumber dana riba tersebut jika ia ketahui.
Jika tidak diketahui dari mana berasal harta tersebut, maka
bagaimanakah dana tersebut disalurkan? Para ulama berselisih pendapat
dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk
yang berhak menerima menurut syar’i. Demikian pendapat jumhur ulama
dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Pendapat kedua menyatakan bahwa dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan. Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafi’i.
Pendapat jumhur ulama lebih kuat. Karena harta riba bisa ada tiga
kemungkinan, ditahan (dijaga), dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta
riba tersebut dimusnahkan, maka itu sama saja membuang-buang harta.
Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama saja menyia-nyiakan
harta tersebut, tanpa ada guna.
Di antara dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai luqothoh (barang temuan),
مَنْ
وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَا عَدْلٍ – أَوْ ذَوَىْ عَدْلٍ – وَلاَ
يَكْتُمْ وَلاَ يُغَيِّبْ فَإِنْ وَجَدَ صَاحِبَهَا فَلْيَرُدَّهَا
عَلَيْهِ وَإِلاَّ فَهُوَ مَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْتِيهِ مَنْ
يَشَاءُ
“Barangsiapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang
yang baik, jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa
pemiliknya, maka kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah
harta Allah yang diberina kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu Daud no. 1709, shahih kata Syaikh Al Albani).
Ke Manakah Harta Riba Disalurkan?
Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara
umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum,
mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau
untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah,
pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama
Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir
miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah
Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk
pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta
yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama
yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir
miskin. Lebih-lebih lagi karena sebab kemiskinan adalah karena terlilit
hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas untuk mereka. Adapun
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada
jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat
dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah),
di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih
diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh
disalurkan untuk pembangunan masjid.
Dalam rangka hati-hati,
harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang
butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan
oleh pemilik harta riba tadi secara personal. Wallahu a’lam.
Semoga Allah menyelamatkan dan membersihkan kita dari harta haram. Wallahu waliyyut taufiq.
Di antara tempat penyaluran dana riba dapat dibaca di sini.
Referensi: Penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772
Post a Comment