Al-Bisathah artinya kesederhanaan. Syaikh Muhammad Al-Ghazaly dalam khuluqul muslim-nya
menjelaskan bahwa Islam sangat menekankan pemeluknya untuk menempuh
cara hidup sederhana. Misalnya dalam hal berpakaian, Islam tidak
menyukai orang yang berpakaian mewah atau membangga-banggakannya. Islam
tidak memandang penampilan yang baik sebagai unsur kebesaran seseorang
atau tanda keluhuran budi pekertinya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mungkin
orang yang tampak kumal, kotor dan hanya mempunyai dua potong baju
usang, bila memohon kepada Allah, ia akan dikabulkan.” (HR. At-Tirmidzi).
Adalah suatu ketololan jika seseorang menjadikan dirinya sebagai
tempat memamerkan pakaian untuk dikagumi orang banyak. Ada pula
sementara orang yang membuang waktu berjam-jam lamanya hanya untuk
membuat dirinya kelihatan cantik, tampan, dan anggun. Mereka mengira
bahwa indahnya pakaian yang melekat pada tubuhnya itu merupakan tanda
kesempurnaan dan kemampuan.
Islam mencela kebiasaan hidup seperti itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
memakai baju kebanggaan di dunia, maka pada hari kiamat Allah akan
mengenakannya pakaian kehinaan dan akan dikobarkan api padanya.” (HR. Ibnu Majah).
Namun, itu tidak berarti Islam menghendaki supaya para pemeluknya
mengenakan pakaian compang-camping atau baju usang dan kumal seperti
dilakukan sebagian orang yang tidak mengerti. Bahkan Islam tidak
menyukai penampilan yang tidak sedap dipandang mata.
Seseorang pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar: “Pakaian apakah yang sebaiknya kupakai?” Ia menjawab: “Pakaian yang tidak dicemooh oleh orang-orang yang buruk perangai dan tidak dicela oleh orang-orang yang arif bijaksana.” Orang itu masih bertanya: “Kira-kira yang seharga berapa?” Abdullah menyahut: “Antara lima sampai dua puluh dirham”. (HR. At-Thabrani).[1]
Pernah terjadi peristiwa, seseorang datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, orang itu berpakaian jelek. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah engkau mempunyai uang?” Orang itu menjawab: “Ya, aku mempunyai uang.” Beliau bertanya lagi: “Darimana kau dapat uang itu?” Ia menjawab: “Dari rizki yang diberikan Allah kepadaku.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat: “Bila Allah memberi rizki kepadamu, hendaklah memperlihatkan nikmat dan karunia-Nya yang diberikan kepadamu.” (HR. An-Nasa’i).
Dalam kesempatan lain beliau bersabda: “Siapa saja di antara
kalian yang memperoleh rizki yang longgar, hendaknya menyediakan dua
potong baju khusus untuk hari-hari Jum’at, selain dua potong baju yang
dipergunakan sehari-hari.” (HR. Abu Dawud).
Tentang masalah mendirikan bangunan, Syaikh Muhammad Al-Ghazaly
menyatakan bahwa Islam menyetujui didirikannya bangunan-bangunan yang
kokoh kuat menjulang tinggi mencakar langit. Demikian juga
bangunan-bangunan untuk kepentingan-kepentingan sekolah, universitas,
tempat penampungan, rumah-rumah sakit, dan lain sebagainya, kendatipun
untuk mendirikannya dikeluarkan biaya bermilyar-milyar. Islam menyadari
bahwa bangunan raksasa seperti itu bermanfaat bagi kemaslahatan umum.
Akan tetapi Islam tidak dapat membenarkan bila untuk kepentingan pribadi
orang muslim mendirikan bangunan megah yang menghujam ke bumi dan
menantang langit.
Adapun mengenai peralatan rumah, syariat Islam telah menetapkan
hukumnya yang tegas. Yaitu tidak membenarkan adanya peralatan-peralatan
mewah di dalam ruangan rumah, dan tidak menyukai jika rumah itu penuh
dengan berbagai macam perhiasan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau hidup bermewah-mewah. Hamba Allah yang baik bukanlah orang yang hidup bermewah-mewah.” (HR. Ahmad bin Hambal).[2]
Islam memang mencabut sampai ke akar-akarnya cara hidup mewah dari
kehidupan individu dan masyarakat agar kesentosaan umat dapat terjamin
dan tali persaudaraan di antara sesama kaum muslimin dapat dipertahankan
dan diperkokoh.
Suatu umat yang dijangkiti penyakit tenggelam di dalam syahwat dan
bergelimang di dalam hal-hal yang terlarang, pasti akan rusak dan
binasa.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di
tengah-tengah umatku akan terdapat orang-orang yang makan berbagai macam
makanan, minum berbagai macam minuman, memakai berbagai macam pakaian,
dan gemar mengumbar pembicaraan. Mereka adalah orang-orang yang paling
buruk di kalangan umatku.” (HR. At-Thabrani).
Kegoncangan negeri-negeri Islam sebagian besar disebabkan oleh
hilangnya cara hidup yang suci dan karena tenggelamnya penduduknya di
dalam usaha mengejar kenikmatan duniawi. Padahal mengenai kemerosotan
mental itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan: “Yang
paling kukhawatirkan mengenai kalian ialah nafsu syahwat yang
tersembunyi di dalam perut dan kelamin kalian, serta hawa nafsu yang
sangat menyesatkan.” (HR. Ahmad bin Hambal).
Mengakhiri uraian tentang kesederhanaan, Syaikh Muhammad Al-Ghazaly
berkata: “Kesederhanaan merupakan inti keutamaan. Yang dimaksud
sederhana ialah anda dapat menguasai kehidupan dan mengarahkannya kepada
tujuan yang lebih tinggi, bukan anda yang dikuasai oleh kehidupan
kemudian anda diarahkan olehnya ke hal-hal yang bersifat rendah.
Kesederhanaan juga berarti bahwa anda tidak menjauhkan diri dari
kenikmatan hidup, sebab dengan demikian anda akan menyesal dan disesali
orang.”
[1] Harga 1 dirham saat tulisan ini di upload, setara dengan Rp 61.000 – Rp 64.000
[2] Kalimat dalam hadits ini ditujukan Nabi kepada Mu’adz bin Jabal
sesaat sebelum ia berangkat ke Yaman untuk menunaikan tugas dakwah dari
Nabi.
Post a Comment